Sebuah pesan masuk di ponselku, segera kuraih dan kubaca pesan itu, ternyata dari sobatku Faizal. “Ass akhi, insyaAlloh ada pertemuan Dewan Syuro dg para pengurus LDK, u/ membahas dakwah kita, antum bisa?, sekalian ada yang ingin ana diskusikan sama antum”. Sesaat kemudian aku tekan tombol reply, aku tulis
“Www. InsyaAlloh, kapan?” Lalu aku kembali menekan tombol di ponselku itu untuk mengirimkan pesan tersebut. Pesan terkirim. Ponsel itu masih kugenggam. Aku buka pintu kamar kontrakanku, semilir angin senja kota kembang langsung menyapaku. Kutarik nafasku, merasakan nikmatnya hidup di kesekian waktu yang dipercayakan Alloh untuk aku arungi. Kedua bibirku dengan lirih berucap syukur pada-Mu ya Rabb atas segala nikmat yang telah engkau anugerahkan. Sebuah kursi kayu yang bersandar disebelah tempat tidurku pun kini aku duduki. Di depannya sebuah meja kecil yang juga masih terbuat dari kayu berdiri. Ada beberapa buah buku berjilid tebal bertuliskan Tafsir Fii Zhilalil Quran masih terbuka disana. Sesaat kemudian sebuah ringtone nasyid Raihan kembali berbunyi di ponselku. “InsyaAlloh acaranya ahad pagi pukul delapan di Daarul Ihsan”.
Aku mencoba mengingat-ingat takutnya sudah ada janji yang aku buat di waktu tersebut. “InsyaAlloh ga ada”, gumamku Aku mengiyakan pada Faizal untuk ikut bergabung di acara pertemuan Dewan Syuro dan para pengurus LDK tersebut. Menjadi aktifis kampus memang mungkin sudah tidak layak lagi gelar itu aku sandang, karena alhamdulillah enam bulan yang lalu aku sudah resmi menjadi seorang sarjana, yang berarti seharusnya aku terlepas dari predikat mahasiswa dan terlepas juga dari segala rutinitas selama menjadi bagian dari kampus itu.
Namun, sebuah amanah yang cukup berat tidak bisa kutolak ketika Syuro memutuskan aku menjadi salah satu anggotanya, setelah aku menyelesaikan amanahku sebagai ketua umum Lembaga Dakwah Kampus (LDK) setahun yang lalu. Dewan syuro ibaratnya menjadi lembaga legislatif yang akan membantu pelaksanaan dakwah sekaligus juga sebagai dewan penasehat para eksekutif di sebuah LDK. Apalagi jika aku teringat firman Alloh dalam Al Quran yang memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berangkat dan berjihad di jalan Alloh meskipun dengan rasa ringan maupun berat. (Q.S At Taubah : 41) .Ada rasa malu yang menyesak dalam dada ini ketika satu persatu maknanya aku selami. Dalam hati aku bertanya, “Bukankah ini juga salah satu jihad dijalan Alloh?”. Lembayung senja mulai nampak menyeruakkan cahayanya masuk di sela-sela pintu kamar kontrakanku. Tidak lama berselang sebuah panggilan suci menggema hampir diseluruh penjuru kota kembang. “Allahu akbar Allahu akbar ... Allahu akbar Allahu akbar ... Asyhadu anla ilaaha illallah ... Asyhadu anla ilaaha illallah ... Asyhadu anna muhammadarasulullah ... Asyhadu anna muhammadarasulullah ... Hayya ‘alashshalah Hayya ‘alashshalah ... Hayya ‘alalfalah Hayya ‘alalfalah ... Allahu akbar Allahu akbar ... Laa ilaaha illallah ...”
Aku bergegas menuju sebuah mushola yang tak jauh dari kamar kontrakanku. Sebuah kain sarung bercorak kotak warna biru lengkap dengan baju koko warna putih menjadi pilihanku untuk menghadap panggilan suci-Mu. * * * Daarul Ihsan, sebuah mesjid kampus yang ada di sebelah fakultasku dulu masih tampak sepi.
Memang aku sengaja berangkat lebih pagi dari acara pertemuan yang telah kami janjikan. Aku tersenyum, mengingat saat-saat ketika kami selalu bersama mendiskusikan jika ada masalah dakwah di kampus kami setahun yang lalu. Dari sini, di tempat ini biasa terlahir gagasan-gagasan cemerlang untuk memecahkan beberapa permasalahan ummat. Ada kalanya kami harus sampai berdebat panjang hanya dalam mencari sebuah solusi. Namun memang benar, perbedaan adalah rahmat. Dari perdebatan perbedaan pandangan biasanya kami lebih memahami dan mengerti akar permasalahan itu sebenarnya. Sinar mentari pagi menyelinap disela-sela dedaunan, bagaikan mata-mata para pribumi yang mengintip siapa yang datang dari balik tirai jendela. Aku tertegun sejenak ... Tiba-tiba ... “Assalamu’alaykum akh, bagaimana kabarnya antum?” Seorang laki-laki dengan kulit putih, rambut agak ikal dan janggut tipis di dagunya menyapaku sambil tersenyum. “Wa’alaykumsalam warahmatullaah ..., alhamdulillah”, jawabku sambil membalas senyumnya. Faizal kini berdiri disampingku. Aku masih ingat pertemuan kami pertama kali sekitar empat tahun yang lalu. Kami bertemu didepan gedung Rektorat, ketika sama-sama akan mengurus beasiswa yang kami dapatkan pada tahun pertama di kampus ini.
Tak kusangka pertemuan itu telah mengantarkan kami dalam sebuah persahabatan. Selama empat tahun menimba ilmu, menjadi bagian di kampus ini, kami tinggal di tempat yang sama. Suka duka biasa kami bagi bersama. Rasa persahabatan itu mungkin kini lebih mirip dengan sebuah ikatan kekeluargaan. Ibarat seorang kakak dan adik yang tumbuh dalam sebuah keluarga. Apapun masalah yang kami hadapi, kami biasa membicarakannya berdua. Mulai dari masalah kuliah sampai ke masalah pribadi sekalipun, termasuk jika membicarakan tentang mereka, tentang akhwat yang kami kagumi. Ya... memang berkali-kali kami harus beristighfar ketika pembicaraan mengarah ke masalah tersebut. Yang kami takutkan adalah kami terlena dengannya. Meski kamipun sadar bahwa sewajarnya seorang manusia memang selalu memiliki rasa ketertarikan jika dipertemukan dengan lawan jenis yang dikaguminya. Kerikil-kerikil kecil menemani langkah kami menghampiri Daarul Ihsan. Sesaat kemudian kami telah berada disebuah ruangan lebar berhiaskan ayat-ayat suci di dindingnya. Kurebahkan tubuhku diatas hamparan sajadah, dinginnya lantai masjid ini masih dingin sedingin ketika kami biasa berada disana seusai shalat berjamaah setahun yang lalu. Pukul delapan tepat, kami memulai acara pertemuan. Ada sekitar duapuluh orang yang hadir di sana saat itu. Lantunan ayat-ayat indah firman Illahi mengalun membuka pertemuan kami. Berharap menambah keberkahan dan meluruskan niat kami dalam pertemuan tersebut dan dalam menjalani perjalanan panjang kehidupan ini. Faizal melanjutkan acara dengan menguraikan masalah yang akan dibahas pada pertemuan tersebut. “Ikhwah, masih ingat dengan anak-anak jalanan yang biasa ada di depan kampus kita?. Ana dapat kabar seminggu yang lalu, ternyata masalah kristenisasi sekarang sudah sampai pada mereka. Ada diantara mereka yang kini telah beralih aqidah karena hasutan dan bujuk rayu mereka para misionaris”, ujar Faizal panjang lebar. “Astaghfirullah”, dalam hati ku beristighfar, ada kesedihan yang membuncah dalam dada ini. Selanjutnya kami mencoba membahas masalah tersebut, mulai dari pembahasan mengapa masalah tersebut bisa terjadi sampai kepada merumuskan solusi untuk mengatasi masalah tersebut.
Ada beberapa keputusan yang kami sepakati saat itu, satu diantaranya kami akan mencoba untuk melakukan pendekatan secara personal kepada mereka para anak jalanan. Berikhtiar mudah-mudahan mereka bisa lebih terbuka, dan disaat mereka terbuka pada kami, kami akan mencoba untuk menyadarkan mereka kembali akan makna Islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin dalam diri-diri mereka. Pukul sepuluh tepat pertemuan kami akhiri. Aku pamit bermaksud untuk lebih dulu meninggalkan forum. Saat itu aku bermaksud ke warnet di depan kampus untuk memeriksa beberapa e-mail yang mungkin masuk di file inbox-ku dari rekan-rekan di millist, serta memasukkan beberapa artikel yang telah aku tulis. Namun, belum genap langkahku, Faizal memanggilku. “Akh Fadhil, afwan boleh minta waktunya sebentar?” Aku hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Sebuah kursi bambu di dekat taman mesjid aku pilih sebagai tempat untuk ngobrol dengan Faizal. “Akh, jujur ana lagi bingung”, Faizal memulai bicaranya. “Bingung kenapa emangnya akh?”, tanyaku. “Seminggu yang lalu ibu bapakku menghubungi, beliau meminta ana untuk menikah dengan seseorang yang telah mereka pilihkan dikampung, padahal ana bermaksud ingin melanjutkan kuliah di Al Azhar akhir tahun ini ... ”. Faizal menarik nafasnya ... “Katanya ga usah khawatir, akhwat itu juga lulusan universitas, akhlaknya juga baik dan semasa kuliahnya ia juga termasuk mahasiswi teladan dikampusnya”, lanjut Faizal mencoba menerangkan. “Terus Farah gimana akhi?”, celotehku sambil tersenyum menggoda dia. Farah Aina Fadilah memang seoarang akhwat aktifis kampus juga yang dulu biasa kami bicarakan, dia masih satu angkatan dengan kami, hanya beda fakultas. Faizal memang sepertinya mengaguminya, bukan hanya cantik wajahnya, namun akhwat berkulit putih yang biasa memakai kacamata itu beberapa kali harus membuat kagi berdecak kagum karena aktifitas dakwahnya yang luar biasa. Biasanya jika aku goda Faizal dengan membicarakan Farah, ia selalu membalasnya dengan membicarakan Rahma, teman dekatnya Farah yang ia kira aku juga mengaguminya. Jujur memang aku kagum pada mereka berdua. Tapi, bukan ia sebenarnya yang lebih aku harapkan bisa menjadi pendampingku kelak. Seorang mahasiswi teladan berwajah ayu, berjilbab lebar, jebolan pesantren, pernah terpilih menjadi salah satu peserta MTQ Nasional, yang sangat terjaga pergaulannya yang bernama Alifa Nurul’aini telah lebih dulu mengisi relung hatiku. Aktifitasnya sebagai ketua bidang keputrian di LDK kami saat itu, kadang membuat aku iri kepadanya. Selalu ada yang lebih aku rasakan ketika aku bertemu dengannya. Ada rasa harap dalam diri, ia kelak bisa aku sunting untuk mengarungi hari-hari bersama dalam rumah tangga. Namun baik aku maupun Faizal memang hanya sebatas mengagumi mereka, mengungkapkan secara terus terang kepada mereka atas perasaan yang dirasakan bisa menjadi bumerang bagi kami. Kami bertekad satu saat nanti biarlah jika kami memang sudah siap untuk berumah tangga, kami akan datang langsung kepada orang tua mereka untuk meminangnya. Tidak saat ini, ... Aku mencoba menyarankan sebuah solusi pada Faizal, untuk kembali menyerahkan atas persoalan yang dihadapinya pada Ia sang maha segalanya. Allah SWT. Istikharah, memang selalu menjadi pilihan ketika hati ini bimbang dalam menentukan pilihan.
Begitupun saat itu, aku menyarankan Faizal untuk rajin beristikharah, memohon yang terbaik. “Atau mungkin jika antum menikah dulu lalu melanjutkan studi ke Al Azhar, akhi?”, tanyaku. “Memang itu juga sempat terpikir oleh ana, namun ana berharap semoga ada yang terbaik untuk masalah ini”, jawab Faizal. “InsyaAlloh, Alloh akan selalu memberikan yang terbaik bagi hambanya akh”, lanjutku sambil tersenyum, menepuk pundak Faizal. Ia membalasnya sambil berucap, “Jazakalloh akhi, antum memang saudara terbaikku”. Matahari mulai beranjak semakin tepat diatas kepala kami, ketika semilir angin masih setia berhembus. Sekali-kali deru kendaraan menghiasi suasana jelang siang di area kampus, ditengah kota kembang itu. * * * Satu bulan berlalu, kota kembang mulai memasuki musim hujan. Langit mendung dihiasi rintik air hujan menjadi pemandangan yang biasa hadir dalam hari-hari belakangan ini. Alhamdulillah, aku baru saja menyelesaikan reka’at-reka’at ku di sepertiga malam yang indah ini. Menghadap Ia di heningnya malam dalam sujud-sujud panjangku. Mengadu atas segala khilaf dan salah serta memohonkan ampunan dalam tangis dan do’aku. Aku teringat Faizal. Sejenak kuraih ponselku ketika aku berniat menanyakan tentang kabarnya. Tapi belum selesai aku menuliskan isi pesan untuk aku kirimkan kepada dia, sebuah pesan lebih dulu masuk. Aku buka dan aku baca. “Ass akh, insyaAlloh ana berniat mengambil langkah untuk menjalin rumah tangga, dan seusai walimah ana berniat membawa istri ana untuk bersama ke Cairo, meniti langkah baru disana sambil mengejar cita di Al Azhar”. Sebuah pesan dari Faizal lebih dulu masuk di ponselku. Dalam hati kuberucap hamdalah, dan berdo’a semoga ini memang jalan yang terbaik baginya. * * * Sebuah pesta di pinggiran kota kembang kini siap menjemput kebahagiaan sobatku Faizal. Bagaimana tidak, menjadi seorang imam dari seorang bidadari shalelah yang diharap daripadanya dapat terjalin keluarga sakinah, mawaddah warahmah serta terlahir generasi-generasi pejuang pemersatu ummat, setahap lagi akan ia raih. Para undangan semakin memadati pesta pernikahan sobatku. Aku yang saat itu bertugas untuk mengurusi para undangan harus extra keras mengatur kenyamanan mereka. Meskipun malam tadi aku tidak tidur sama sekali mengurusi persiapan pesta penikahan sobatku itu. Tidak sempat lagi aku memperhatikan situasi didalam ruangan walimah. Tepat pukul sembilan pagi, protokoler acara memulai acara walimah, sesekali aku sempatkan untuk melirik ke arah sobatku sambil tersenyum. Ia pun membalas senyumku, seolah berkata, “Terima kasih sobat”. Sesaat kemudian acara walimah akan segera dimulai, dan kini Faizal telah berada didalam ruangan ketika aku masih sibuk mengurusi para undangan. Aku sandarkan tubuhku pada sebuah tiang didepan ruangan walimah untuk memperhatikan ketika sobatku mengucap ijab kabul pernikahannya. Meskipun hanya dari sebuah pengeras suara. Namun, alangkah tersentak kagetnya aku ketika satu persatu kata-kata itu terucap ... “Qobiltu nikahaha Alifa Nurul’aini binti Muhammad Azzam bi mahari .... naqdan ......” Hampir aku tersungkur lemah mendengar semua itu ... “Astaghfirullah yaa Alloh ....., kuatkan diri ini ....”, jeritku dalam hati Ingin rasanya aku berteriak, berlari dan mengangkat telunjukku, mengarakhan pada Faizal, sambil memuntahkan segala sumpah serapahku !!! Namun, aku sadar semua hanya akan berbuah sia-sia. Seluruh hadirin telah mengesahkan ijab kabul yang terucap dari bibir sobatku Faizal. Faizal pun tak layak dipersalahkan, karena ia memang tidak mengetahui apa yang aku harapkan dari seorang Alifa. “Mengapa mesti dia ....”, kembali dalam hati kuterisak Aku berlari, tidak lagi aku pedulikan suasana riuh rendah para tamu undangan, tidak lagi aku perhatikan beberapa teman yang memanggil namaku saat itu, aku meninggalkan pesta pernikahan Faizal. Pernikahannya dengan seorang bidadari yang sesungguhnya lebih aku harapkan dapat hadir sebagai pendamping hidupku, peneguh jalanku ketika mengarungi bahtera rumah tangga. Namun kini ia telah menjadi milik orang, yang mana orang itu adalah sobatku sendiri. Langkahku terhenti didepan sebuah masjid, kubasuh diri ini dengan air wudhu ... aku tak lagi mampu menahan air mataku, jatuh dan berlalu bersama percikan air wudhu. Aku terjatuh ... lunglai bersujud dihadapanmu ya Rabbi. Aku tahu, bahkan aku sangat tahu dan yakin akan semua yang terbaik dari-Mu, namun mengapa mesti ini yang terjadi ??? * * * 10 tahun berlalu ... Aku masih terduduk di sebuah kursi rotan di depan sebuah rumah kecil namun asri, menikmati secangkir kopi sambil melihat tayangan berita di acara berita pagi sebuah stasiun televisi. Kicauan burung menghiasi indahnya taman bunga yang tumbuh didepan rumahku. Seorang pria berkulit putih dengan janggut tipis dan rambutnya yang agak ikal tampil di sebuah berita sebagai seorang Duta Besar paling muda yang pernah ada di Indonesia. Aku tersenyum bangga, “Faizal ... alhamdulillah ...”, lirihku .... Sesaat kemudian aku berdiri, jauh di ujung sana seorang bidadari sedang bermain bersama dua malaikat-malaikat kecil kami. Ya ... seorang akhwat berjilbab lebar, berkulit putih, berparas cantik, bernama Farah Aina Fadilah telah Alloh pilihkan untuk menjadi bidadariku menyusuri hari, mengaharap ridho Illahi, dalam balutan suci sebuah rumah tangga. “Alhamdulillah yaa Rabb, kupanjatkan syukur pada-Mu ..., kuasa-Mu begitu tak pernah terkira ...”.
No comments:
Post a Comment